Kelompok :
Andi lukman ( 20210683 )
Angga setiawan (
20210806 )
Dimas Fahriza Ismail ( 22210031 ) `
Listyaji kusprimadiyanto (
24210053 )
R. Hudy Adinurwijaya ( 25210478 )
Tugas Softskill Minggu ke 3
A. Materi : Konsep
Dasar Laporan Keuangan
Judul Kasus : Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
B. Pendahuluan
Diduga terjadi manipulasi data dalam
laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih
keutungan sebesar Rp 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih
rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63 Miliar. Komisaris
PT. KAI, Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,
laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit
terhadap laporan keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya
dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh
BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian
diserahkan direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum
pemegang saham, dan komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari
laporan keuangan PT. KAI tahun 2005.
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun
tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai
pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat
ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan
dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan
yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart
Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa
dimasukkan sebagai aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat
penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku
cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan
inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara
bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan
nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang
seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum
ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar
dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI
disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan
tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan
sebagai bagian dari modal perseroan.
Manajemen PT. KAI tidak melakukan
pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak
yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya
diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan
pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik
terjadi karena PT. KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik.
Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT.
KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan
publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005
segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti
bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
C. Pembahasan
Dalam
kasus di atas, terdapat banyak kejanggalan yang ada pada laporan
keuangan yang menjadi hasil pekerjaan akuntan public
tersebut. Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen
dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit
dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan
keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan komisaris meminta
untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara
transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Peran
vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3
hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara
memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang
harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk
mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar
perusahaan. Dalam hal ini, komisaris yang merangkap sebagai komite
audit PT. KAI yaitu Hekinus Manao berbicara kepada publik
dan menolak menyetujui laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah
diaudit oleh akuntan publik.
Khusus
dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting
dalam (Al. Haryono Jusup, 2001: 50) :
a. Menunjuk
kantor akuntan publik yang akan diberi penugasan audit.
b. Mendiskusikan
lingkup audit dengan auditor.
c. Mengundang
auditor untuk mendiskusikan masalah-masalah audit yang timbul selama audit
berlangsung
d. Mereview
laporan keuangan dan laporan auditor dengan auditor menjelang selesainya
penugasan audit.
Berdasarkan
uraian tugas komite audit tersebut diatas, beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan terjadinya kesalahan pada hasil laporan keuangan PT. KAI yaitu pada
saat proses lelang, Komite Audit seharusnya ikut untuk melihat
apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat keadilanproses
pemilihan. Pada kenyataannya, komite audit tidak ikut dalam proses
penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit. Kesalahan
tersebut mengakibatkan terjadinya kesalahan yang lain, yaitu tidak adanya
atau sangat minimnya komunikasi antara pihak Komite Audit dengan Auditor
Eksternal (akuntan publik). Karena Komite Audit tidak menunjuk auditor yang
akan diberi penugasan, maka komunikasi yang terjadi antara komite audit dengan
auditor bisa diperkirakan sangat sedikit bahkan tidak efektif.
Akibat
komunikasi yang kurang intens, maka tugas komite audit untuk melaksanakan
kewajibannya untuk mengajak auditor untuk mendiskusikan masalah audit saat
audit berlangsung tidak dipenuhi dengan baik. Kesalahan ini menimbulkan
kesalahan berikutnya, yaitu Komite Audit tidak mereview laporan keuangan
dan laporan auditor dengan auditor eksternal menjelang selesainya penugasan
audit.Dalam kasus ini, Komite Audit justru tidak mau menandatangani
laporan keuangan yang telah diaudit, setelah laporan audit diterbitkan.
Padahal seharusnya Komite Audit melakukan review
bersama dengan auditor eksternal menjelang selesainya
penugasan audit, yang artinya sebelum laporan auditor diterbitkan,
sehingga laporan keuangan tersebutlangsung bisa dilakukan audit
investigasi dan koreksi apabila terjadi kesalahan pencatatan. Komite
Audit juga tidak perlu berbicara kepada publik. Karena
komunikasi yang buruk antara Komite Audit dengan auditor, maka hal seperti itu
bisa terjadi.
Menurut kami, selain
akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal
pencatatan laporan keuangan, akuntan
internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik,
integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika
akuntan yang dilanggar antara lain :
1. Tanggung jawab profesi, dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab
secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal
PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam
pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang
dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
2. Kepentingan Publik, dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang
berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam
kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena
diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya
menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami
keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena,
apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi
kerugian tersebut.
3. Integritas,
dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus
ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan
manipulasi laporan keuangan.
4. Objektifitas,
dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak
memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena
diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5. Kompetensi dan kehati-hatian professional, akuntan dituntut harus melaksanakan jasa
profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya
pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak
melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan
yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian
namun dalam laporan keuangan mengalami keuntungan.
6. Perilaku
profesional, akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku
konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang
dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak
berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan
pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama
baik) profesinya.
7. Standar
teknis: akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan
mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak
melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan
sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat
menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak
ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi
keuangan tidak dapat dikelompokkan
dalam bentuk pendapatan atau asset.
Menurut
sumber yang kelompok kami peroleh, adabeberapa hal yang diidentifikasi turut
berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia yaitu :
1. Auditor
internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor
eksternal.
2. Manajemen
(termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada komite audit dan komite
audit juga tidak menanyakannya.
3. Adanya
ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga
ketika komite audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
PT
KAI yang merupakan suatu lembaga memang punya kewenangan untuk menyusun laporan
keuangannya dan memilih auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap
laporan keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan
organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada
hal-hal yang harus diperhatikan sebagai wujud penerapan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance). Auditor eksternal yang
dipercayai harus benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana
berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK
dan SPAP.
Selain
itu, sebagai auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara baik dan benar
dengan komite audit yang ada pada PT Kereta Api Indonesia untuk membangun
kesepahaman (understanding) diantara seluruh unsur
lembaga.Kemudian, hubungan antar lembaga diharapkan tercipta dengan
baik, sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen yang ada di
dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang perwujudan tanggung jawab
sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai salah satu pengampu
kepentingan.
Perlu
diketahui juga akan pentingnya kejujuran dalam membuat laporan keuangan.
Hal tersebut bukan hanya penting sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap publik
maupun investor. Akan tetapi hal tersebut juga penting bagi perusahaan sendiri
karena dari laporan keuangan biasanya perusahaan menganalisis bagaimana
perkiraan tahun mendatang dan menjadi dasar pengambilan keputusan. Apabila
laporan keuangan yang menjadi dasar hal tersebut sudah tidak layak, tentu hasil
akan jauh dari yang diharapkan dan bahkan bisa berimbas pada perusahaan.
D. Saran
1. Harus
ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang
salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari
tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement
atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari
Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api
sedang diproses disana.
2. Komite
Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ
Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan
kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite
Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat
mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan
tahunan perusahaan.
3. Komite
Audit berperan aktif dalam mengkoordinasikan seluruh tahapan proses auditing,
mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan memberikan hasil
evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada Direksi.
4. Manajemen
menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
5. Memperbaiki
komunikasi antara auditor dengan pihak-pihak yang berinteraksi, yaitu
manajemen, Komite Audit, dan auditor intern. Dengan komunikasi yang efektif,
maka data dan bukti yang terkumpul akan semakin akurat dan memadai, juga
menghindari perselisihan dengan Komite Audit.
6. Membangun
pengawasan yang efektif di tubuh perusahaan.
7. Perbaikan
sistem akuntansi dan konsistensi penerapan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum
di perusahaan.
8. Memilih
auditor yang benar-benar kompeten dan profesional.
9. Beberapa
hal teknis yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang
khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure
Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta
komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan sistem akuntansi. Transaksi
antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum
dipahami dan disepakati dengan baik seperti PSO, IMO, dan TAC yang
dikhawatirkan berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari.